LUWU — Dugaan Bagi-bagi Sembako yang dipertontonkan Calon Wakil Bupati Luwu, Emmy Tallesang di Walmas baru baru ini, dinilai telah menyalahi aturan yang ditetapkan oleh pihak penyelenggara.
Hal tersebut,diungkapkan Hermawan Rahim, Kuasa Hukum Basmin Mattayang (BM)-Syukur Bijak (SBj), Selasa, (12/6/2018) sore di Posko BM-SBj Jalan Topoka, Belopa.
Pasangan Calon Wakil Bupati Luwu, nomor urut 2, Patahudding itu, menurut Hermawan diduga keras dengan sengaja membagikan Parcel ke masyarakat dengan motif pembagian oleh-oleh.
“Sudah jelas dalam gambar itu pembagian sembako atau parcel. Kalau itu dikatakan oleh itu sebagai motif memperlancar gerakannya saja,” tutur Hermawan.
Dengan adanya kejadian tersebut, mewakili seluruh Simpatisan BM-SBJ, selaku Kuasa Hukum, Hermawan Sapaan akrab Hermawan Rahim itu meminta kepada pihak Panwaslu Luwu serius dan tidak bertindak setengah hati menangani dugaan money politic yang terjadi di Kabupaten Luwu khususnya di Walmas baru-baru ini.
Ditegaskannya, paslon yang terbukti melakukan politik uang akan didiskualifikasi, meskipun dinyatakan menang pada saat pemungutan suara. Lebih jauh dia mengatakan, tidak ada alasan untuk tidak memidanakan para pelaku politik uang, sebab aturannya sudah jelas dan patut untuk dihormati dan dilaksanakan.
“Aturannya sudah jelas dan kuat dalam UU Pilkada dan KUHPidana. Bahkan yang dikenai sanksi tidak hanya si pemberi, tapi si penerima juga,” kata Hermawan.
Disebutkan dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 dalam UU Nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada, pada Pasal 187 A ditegaskan.
(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada warga negara Indonesia, baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk mempengaruhi pemilih agar tidak menggunakan hak pilih, menggunakan hak pilih dengan cara tertentu, sehingga suara menjadi tidak sah, memilih calon tertentu, atau tidak memilih calon tertentu sebagaimana dimaksud pada Pasal 73 Ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp 200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000 (satu miliar rupiah).
Sedangkan pada ayat (2), Pidana yang sama diterapkan kepada pemilih yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum dengan menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) di atas.
“Jadi jelas, bukan hanya si pemberi, si penerima pun bisa ditindak. Ini tentu bisa jadi pelajaran yang berharga bagi masyarakat agar tidak menggampangkan masalah dan ikut larut dalam praktik politik uang,” ucap Hermawan.
Sementara, dalam KUHPidana seperti yang diatur dalam KUHPidana, pada BAB V Penyertaan Dalam Tindak Pidana, pada Pasal 55, ditegaskan: (1) Dipidana sebagai pelaku tindak pidana.
1). Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan;
2). Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalah gunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.
Lalu, (2) terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya. Sedangkan pada Pasal 149 : (1) Barang siapa pada waktu diadakan pemilihan berdasarkan aturan-aturan umum, dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, menyuap seseorang supaya tidak memakai hak pilihnya atau supaya memakai hak itu menurut cara tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling lama empat ribu lima ratus rupiah. (2) Pidana yang sama diterapkan kepada pemilih, yang dengan menerima pemberian atau janji, mau disuap.
Seperti diketahui,Undang-Undang Pemilu telah menegaskan larangan politik uang, tapi nyatanya praktik tersebut masih ada. Money politic dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 diatur bahwa itu tidak boleh. Tapi praktik-praktik yang terjadi vote buying tetap ada, sehingga perlu dicegah.
Tak hanya politik uang, sejumlah potensi kekisruhan masih sangat mungkin. Untuk mencegah konflik dan gesekan diharapkan penyelenggara Pilkada peka dan profesional. KPU mulai tingkat provinsi/daerah hingga pelaksana tingkat kelurahan/desa, Bawaslu, aparat keamanan hingga masyarakat itu sendiri. Personal maupun kelompok.
“Paslon harusnya Lakukan pendekatan ke masyarakat itu secara baik, tidak perlu pemberian-pemberian apapun karena konotasinya lebih mengarah ke money politik, Apalagi membagikan sembako dengan Motif pemberian Ole-ole atau Parsel dan itu dilakukan Paslon saat Bulan suci ramadhan.
Paslon yang membagikan barang ataupun Sembako dengan tujuan untuk mempengaruhi masyarakat dalam menggunakan hak suaranya dan atau dengan memakai simbol paslon harus ditindak karena murni merusak tatanan demokrasi di Luwu,” tutup Hermawan.(**)