Media Duta, Mamasa, – Polemik terkait status kepemilikan lahan pemukiman di Desa Buntu Malangka, Kecamatan Buntu Malangka, Kabupaten Mamasa, menjadi sorotan publik setelah adanya pengaduan dari masyarakat. Menindaklanjuti laporan tersebut, Ketua DPC Lembaga Pengawasan Reformasi Indonesia (LPRI) Kabupaten Mamasa, Berthus, turun langsung ke lokasi untuk melakukan peninjauan dan investigasi awal. (9/04/2025)
Berthus bersama rombongan mengunjungi lokasi lahan yang dipersoalkan dan melakukan pertemuan dengan sejumlah pihak, termasuk Sekretaris Desa Buntu Malangka, Agung Setiawan, Kepala Desa Yuli, S.AP., serta beberapa tokoh masyarakat setempat. Dalam keterangan di lokasi, Agung Setiawan menjelaskan bahwa dirinya menyaksikan secara langsung proses pengukuran batas lahan oleh Dinas Pertanahan pada tahun 2018. Ia juga menyebut bahwa proses tersebut melibatkan ayahnya yang mendampingi pihak pertanahan dalam pengukuran lapangan.
Menurut Agung, pengukuran tersebut dilakukan dalam rangka pembebasan lahan oleh Pemerintah Daerah untuk pembangunan perumahan rakyat. Ia juga menunjukkan batas-batas lahan kepada pihak LPRI sebagai bagian dari peninjauan di lapangan.
Sementara itu, Kepala Desa Yuli, yang baru menjabat tiga hari, enggan memberikan keterangan lebih lanjut dengan alasan belum mengetahui persoalan tersebut. Namun, sejumlah tokoh masyarakat lainnya memberikan keterangan yang senada dengan Agung, termasuk mantan Camat Buntu Malangka, Yoas, yang mengonfirmasi pernah menandatangani kwitansi jual beli lahan antara pemilik tanah dan pihak Pemda dengan nilai transaksi sekitar Rp 1 miliar.
Keterangan tambahan datang dari salah satu anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD), yang menyebut bahwa lahan tersebut memang pernah dibebaskan oleh Pemda dengan nilai sekitar Rp 400 juta, yang diberikan kepada pemilik lahan yang tinggal di wilayah perbatasan antara Kabupaten Mamasa dan Mamuju.
Berthus juga menemui Taufik, tokoh masyarakat sekaligus mantan anggota DPRD Mamasa, di kediamannya. Dalam keterangannya, Taufik mengaku sebagai pihak yang pertama membeli lahan tersebut dari pemilik aslinya. Ia menyatakan telah mengeluarkan dana sekitar Rp 400 juta, yang terdiri dari uang tunai, hasil kredit, satu ekor kerbau, dan sebidang kebun. Dua tahun kemudian, tanah seluas dua hektar diserahkan ke Pemerintah Daerah dengan nilai sekitar Rp 1 miliar. Ia juga menyebut bahwa lahan yang diserahkan telah disertifikatkan atas nama Hendra, yang merupakan anak menantunya.
Meski demikian, polemik terus berkembang lantaran masyarakat belum mendapatkan kejelasan terkait berapa hektar lahan yang benar-benar sudah menjadi milik Pemerintah Daerah dan bagaimana status sisa lahan lainnya. Perbedaan informasi mengenai nilai transaksi serta pihak yang berwenang menimbulkan beragam praduga dan keresahan di kalangan warga.
Berthus menegaskan bahwa LPRI akan terus melanjutkan proses investigasi dengan mengumpulkan keterangan saksi-saksi serta dokumen pendukung. Jika ditemukan indikasi pelanggaran hukum, pihaknya siap membawa kasus ini ke jalur hukum sesuai dengan prinsip equality before the law. Ia juga mengimbau masyarakat Desa Buntu Malangka agar tetap tenang dan menyerahkan proses penyelidikan kepada pihak berwenang.
“Kami tidak akan berhenti sebelum semua fakta terungkap secara terang benderang dan masyarakat mendapatkan kejelasan serta kepastian hukum,” ujar Berthus.