PALOPO — Aduh! Minta ampun, ongkos politik di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) setiap lima tahun naik terus seiring meningkatnya laju inflasi dan tingginya permintaan ‘kursi’ di pasaran.
Untuk Pilkada 2018, harganya bahkan sudah menyentuh angka Rp2 miliar per satu buah kursi di DPRD Provinsi Sulawesi Selatan. Angka ini konon naik tiga hingga empat kali lipat dari Pilkada 2013 lalu.
Sinyalemen ini mengemuka saat Pilgub Sulsel, termasuk 171 daerah yang ber-Pilkada di Indonesia memasuki masa-masa injury time.
Salah seorang tim bakal Calon Gubernur membocorkan, jika harga kursi untuk parpol besar nilainya sudah menembus batas psikologis.
BACA JUGA: Alamak! Harga Kursi di Pilgub Sulsel Naik Berlipat-lipat, Sudah Tembus Rp2 Miliar?
Lantas bagaimana untuk sekelas Pilkada Bupati/Walikota?
Sumber kami yang mewanti-wanti namanya tidak disebutkan dengan lugas membeberkan, jika dirinya dimintai Rp350 juta sampai Rp500 juta per kursi di event Pemilihan Walikota Palopo 2018.
Meski enggan menyebut nama partai yang disasar, namun bakal calon walikota tersebut berkilah jika harga yang ia sampaikan belum termasuk biaya ‘lain-lain’ untuk mengongkosi pengurus parpol, mulai dari biaya transportasi, biaya akomodasi hingga sepucuk rekomendasi bisa dikeluarkan DPP parpol bersangkutan.
“Saya buka tapi tolong nama saya dirahasiakan, harganya variatif, ada yang Rp350 juta ada yang sampai Rp500 juta per kursi, saya tidak usah sebut nama partainya, yang jelas kemarin saya dimintai oleh pengurus parpol segitu, tiap parpol beda-beda,” ujar sumber, Minggu siang (3/12).
BACA JUGA: Walikota Stop Dana Hibah Kedatuan, Ini Kata Datu Luwu
Terpisah, Pengamat Politik dan Kebijakan Publik Universitas Andi Djemma (Unanda), Drs Syahiruddin Syah, M.Si kepada Media Duta Online, mengaku tak kaget dengan isu ongkos politik yang harganya selangit di pesta demokrasi lima tahunan itu. Kata dia, lewat WhatssApp, (3/12), kondisi ekonomi rakyat yang masih jauh dari kata sejahtera, ditambah kondisi parpol yang belum bisa 100% mandiri, membuat money politics di Pilkada Indonesia tetap tumbuh subur.
“Kondisi negara kita masih jauh dari kata sempurna, rakyatnya belum sepenuhnya sejahtera dan Parpolnya masih bergantung pada Penguasa, beda dengan mereka di negara maju, meski sama-sama didominasi oleh sistem liberal akan tetapi mereka lebih mengedepankan visi dan misi daripada program hambur uang. Uang hanya digunakan untuk membiayai program kampanyenya, bukan digunakan untuk praktik jual beli suara dan beli rekomendasi parpol. Inilah yang membedakan kita dengan negara maju,” terang dosen yang sedang sibuk menyelesaikan S3-nya di Makassar.
Senada, Pengamat Politik Sawal Nurdin, saat dihubungi Senin (4/12) mengatakan, mahalnya mahar politik atau ongkos ‘jajan’ kursi di Pilkada bisa mendistorsi kualitas pilkada dan proses demokrasi yang sedang berjalan. Ini terjadi, kata dia, karena parpol belum transparan dalam proses rekruitmen kandidat.
“Parpol masih belum berani transparan, prosesnya banyak yang kurang betul alias keliru, tapi kontrol publik juga lemah, tak heran jika yang muncul kemudian adalah kapitalis, pemilik modal yang membekingi sang tokoh untuk maju, sehingga jika jagoannya menang, maka otomatis, jangan salahkan mereka (pemodal) jika meminta “imbalan jasa”, jadi anggota DPRD juga jangan marah, kalau misalnya nanti si jagoan terpilih lantas tidak kebagian proyek,” ucap mantan Komisioner KPU Palopo itu sambil tertawa.(*)