Kami mengawali tulisan ini dengan tanda tanya besar, Rampi Masih Wilayah NKRI, Bukan?.
Dua hari lalu, kami awak redaksi Media Duta Online terperanjat, ketika membaca sebuah tulisan di Tribun Timur Online, ada jenazah yang harus digotong lantaran infrastruktur jalan yang masih belum beres di kawasan terpencil di sebuah kecamatan di Luwu Utara bernama “Rampi”.
Tulisan yang baru diposting sejam itu langsung membuat tidak saja pikiran kami melayang tetapi juga nurani ini ikut menangis. Jenazah 36 kilometer digotong bergantian oleh keluarga dan kerabat almarhum adalah diluar nalar keindonesiaan saya yang pernah tinggal di belantara Papua.
Terbetik dalam benak, berjalan kaki tanpa beban saja per 1 kilometer bisa memakan waktu 2 jam, bagaimana dengan 36 kilometer dikali 2 jam, masya Allah, 72 jam atau 3 hari perjalanan darat demi menguburkan jenazah?
Dengan airmata meleleh, jemari saya menari diatas tuts keyboard, mencari tahu sebanyak mungkin informasi tentang jenazah dan kondisi Rampi terkini.
Tak banyak informasi yang bisa kami gali, selain kendala komunikasi, Rampi yang merupakan pedalaman terpencil di kawasan Luwu Utara, sehingga mungkin tak istimewa bagi petinggi negeri yang sibuk mengurus kelanggengan kekuasaannya.
Rampi hanyalah sebuah kecamatan dengan enam desa, yang luasnya hanya 1.565,66 km² berpenduduk 3.546 jiwa dengan kepadatan penduduk hanya 2 jiwa/km². Ya, hanya!
Oleh sebab itu, mungkin saja, wilayah yang warganya hidup dari hasil berkebun dan tambang rakyat di daerah dataran tinggi ini tak penting untuk dilirik pemerintah, baik Pusat hingga pemerintah kabupaten.
Meski kami pernah tinggal di belantara Papua, kawasan yang masih dianggap primitif, setidaknya warga disana tak pernah ada yang sampai menggotong mayat hingga puluhan kilometer berjalan kaki. Ini pula yang jadi bahan cerita warganet, mereka menyesalkan dan prihatin, masih ada ‘penjajahan’ lain di bumi Nusantara ini.
Duka keluarga Mesak Wungko, putra Desa Onondowa, adalah duka kita semua. Duka rakyat Indonesia yang sudah 72 tahun merdeka.
Infrastruktur jalan yang harusnya sudah bisa dilalui kendaraan roda dua dan empat masih dalam angan-angan bagi warga Rampi dan juga Seko di Luwu Utara.
Jika saja, korupsi sudah bisa ditekan, mungkin tak ada lagi cerita jenazah digotong, atau warga miskin yang hidup merana karena kesulitan mendapat fasilitas layanan kesehatan terbaik dari negaranya.
Semiskin-miskinnya kita, jangan lagi ada nestapa sesosok jenazah yang harusnya sudah tenang di alam kubur, tetapi perjalanan menemui Sang Khalik terhalang oleh infrastruktur jalan, dan mahalnya biaya transportasi ke sebuah desa terpencil, bernama Rampi, yang masih Indonesia. Wallahu’alam.(*)
Ket. Foto: Keluarga dan Kerabat alm. Mesak Wungko ketika menyusuri hutan, lembah dan sungai demi menggotong jenazah menuju peristirahatan terakhirnya.(Foto:Net)
BACA JUGA: Jenazah Ditandu 36 Kilometer di Rampi Luwu Utara, Netizen: Papua Tak Separah Ini