MEDU-ONLINE | Potensi bencana alam di Luwu Utara, Sulawesi Selatan, telah diprediksi melalui kajian akademisi Universitas Hasanuddin sejak 2019 lalu. Pegiat mengatakan keadaan ini diperparah oleh praktik penebangan hutan dan perluasan lahan-lahan perkebunan sawit.
Tapi anehnya, Bupati Luwu Utara, Indah Putri Indriani, menampik tudingan pemerhati lingkungan soal pembabatan hutan, perluasan kawasan pertambangan, dan pembukaan lahan baru di hulu sungai.
Indah menegaskan bahwa yang terjadi di Luwu Utara adalah murni bencana.
Untuk melancarkan upaya penanganan korban bencana, Indah menetapkan status tanggap darurat selama 30 hari, terhitung dari 14 Juli hingga 12 Agustus 2020.
Hingga Kamis (16/07), Tim Reaksi Cepat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan sebanyak 15 orang masih dalam pencarian, sedangkan korban meninggal berjumlah 30 orang.
Sehari sebelumnya (15/7) sebanyak 539 personel gabungan SAR mencari dan mengevakuasi warga yang hanyut akibat derasnya banjir. Kejadian ini mengakibatkan puluhan orang dirawat di sejumlah rumah sakit dan puskesmas.
Sebanyak 3.627 KK atau 14.483 jiwa mengungsi di tiga kecamatan. Mereka tersebar di pengungsian di Kecamatan Sabbang, Baebunta dan Massamba.
Banjir bandang yang terjadi pada Senin lalu (13/07) berdampak di enam kecamatan yaitu Kecamatan Masamba, Sabbang, Baebunta, Baebunta Selatan, Malangke dan Malangke Barat.
SUMBER GAMBAR: DARUL AMRI
Alam dan Ulah Manusia
Hasil analisis sementara Direktorat Jenderal Pengendalian DAS dan Hutan Lindung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat dua faktor penyebab banjir bandang Luwu Utara, yakni alam dan manusia.
Curah hujan dengan intensitas tinggi di daerah aliran sungai (DAS) Balease menjadi salah satu pemicu banjir bandang tersebut.
Termonitor curah hujan lebih dari 100 mm per hari serta kemiringan lereng di bagian hulu DAS Balease sangat curam. Desa Balebo yang dilewati DAS ini berada pada kemiringan lebih dari 45%.
Selain cuaca, KLHK mencatat kondisi tanah berkontribusi terhadap terjadinya luncuran material air dan lumpur.
Jenis tanah distropepts atau inceptisols memiliki karakteristik tanah dan batuan di lereng yang curam mudah longsor, yang selanjutnya membentuk bending alami atau tidak stabil. Kondisi ini disebut mudah jebol apabila ada akumulasi debit air tinggi.
Adapun faktor manusia, KLHK memantau adanya pembukaan lahan di daerah hulu DAS Balease dan penggunaan lahan masif perkebunan kelapa sawit.
Terkait dengan pembukaan lahan ini, salah satu rekomendasi dari KLHK yakni pemulihan lahan terbuka di daerah hulu.
SUMBER GAMBAR: ANTARA FOTO
Sudah diprediksi sejak 2019
Potensi bencana di Luwu Utara telah dikaji Pusat Studi Kebencanaan Universitas Hasanuddin (Unhas) sejak 2017 lalu. Pada 2019, hasil penelitian diterbitkan dalam Journal of Physics.
Dalam laporan itu, Luwu Utara disebut sebagai salah satu daerah dengan risiko tinggi banjir mengingat wilayah hulu sungai di Masamba terjadi degradasi akibat banyak kawasan yang dialih fungsikan.
Banjir bandang pun rawan terjadi lantaran intensitas hujan yang ekstrem terkait pemanasan global.
“Banyak dialih fungsikan lahan di sana, entah itu untuk pemukiman, perkebunan, entah itu logging atau sebagainya. Nah dua hal inilah yang mengakibatkan terjadinya banjir bandang kemarin,” kata Ketua Pusat Studi Kebencanaan yang juga Guru Besar Teknik Geologi Unhas, Profesor Adi Maulana.
Prof Adi menyebutkan, Pemerintah Kabupaten Luwu Utara semestinya kembali melihat rencana tata ruang wilayah. Karena fungsi hutan di hulu sungai tidak bisa dijadikan sebagai hutan produksi atau perkebunan.
“Sehingga itu sudah mutlak harus dijaga, karena dekat dengan pemukiman warga. Jika dialih fungsikan untuk perkebunan harus dipastikan apakah tidak mempengaruhi daya dukung sungai,” tutur Prof Adi kepada wartawan di Sulawesi Selatan, Darul Amri, yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
SUMBER GAMBAR: DARUL AMRI
KPA Sulsel: Konsesi Memperparah Bencana
Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) Sulsel menilai, banjir bandang di Luwu Utara juga disebabkan konsesi-konsesi perkebunan sawit dan dikeluarkan izin usaha pertambangan.
“Ini memperluas dan memperparah dari sebuah dampak yang sangat masif. Kita lihat saja di hulu Maipi sungai Masamba. Di sana kita lihat bukan saja kawasan sawit tapi juga vila-vila mewah,” kata Koordinator KPA Sulsel, Rizki Anggriana Arimbi.
KPA Sulsel mencatat, Luwu Utara punya luas wilayah 750.268 Hektare (Ha) dan luas Hak Guna Usaha (HGU) adalah 90.045 Ha. Sementara dari luas wilayah tersebut, tujuh perusahaan swasta menguasai 84.389 Ha. Sementara satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) 5.665.00 Ha.
Dari luas wilayah HGU tersebut, lebih dari 61.000 hektare di antaranya digunakan untuk perkebunan kelapa sawit.
Rizki Anggriani mengatakan, jika diperiksa dalam Rancangan Tata Ruang Wilayah (RTRW) Luwu Utara dan geoportal ESDM, lokasi-lokasi yang disebutkan masuk dalam kawasan rawan bencana.
“Jadi itu sebagai lokasi likuifaksi dalam kategori sedang. Musibah yang terus berulang ini memperlihatkan pemerintah tidak merumuskan suatu kebijakan atau rencana strategis untuk menyelesaikan situasi seperti ini,” kata Rizki Anggriani.
Sementara itu, pemerhati lingkungan di Masamba, Muh Ibrahim (37) mengatakan, dia dan beberapa rekannya di Masamba telah memperingatkan kepada pihak Pemkab Luwu Utara terkait dampak penambangan untuk kawasan sawit.
Karena sebelumnya, banjir berskala kecil dan luapan air sungai Masamba, Meli dan beberapa sub-DAS (Daerah Aliran Sungai) terus terjadi setiap tahun dan puncaknya pada 2020.
“Kami yang tergabung dalam komunitas hijau Luwu Utara sudah sering sampaikan ke pemerintah daerah bahwa sonasi Luwu Utara atau yang teregulasi dalam rencana tata ruang wilayah itu tidak konsisten dari awal,” ungkap Ibrahim via telepon.
SUMBER GAMBAR: ANTARA FOTO
Temuan Potongan-potongan Kayu
Setelah banjir bandang melanda, beberapa warga menyaksikan banyaknya potongan kayu besar memenuhi sungai.
“Banyak bekas-bekas potongan kayu, entah itu hasil penebangan secara ilegal maupun legal,” kata Adnan, warga Masamba, Luwu Utara.
Saat ini kata Adnan, warga hanya fokus untuk mencari barang-barang berharga yang bisa diselamatkan dari tumpukan tanah dan lumpur dari dalam rumahnya.
“Saat ini kami fokus selamatkan barang-barang kami, termaksud tunggu bantuan. Listrik di sini terputus makanya kami butuh penerangan lilin, pakaian juga dan makanan serta obat,” tambah Adnan.
Menanggapi potongan-potongan kayu besar di sungai pascabanjir, Wakil Gubernur Sulawesi Selatan, Andi Sudirman Sulaiman, telah melaporkannya ke pihak penyidik Polda Sulsel.
“Ini sudah kita laporkan kepada Polda dan pak Kapolda (Irjen Pol Mas Guntur Laupe). Kemarin sudah merespons bahwa akan menyelidiki siapa-siapa pelaku yang terlibat dalam perambahan hutan yang kemudian berdampak sistemik kepada banjir bandang,” ungkap Andi.
“Termaksud perluasan-perluasan area-area perkebunan dan pertambangan itu akan dicek, karena kita sudah kirimkan datanya tinggal itu urusannya dengan di review sejauh mana keterlibatan oknum-oknum dan kemudian bagaimana sistem-sistem perijinan-perijinan mereka, dan sebagainya ya,” lanjut Wakil Gubernur, Andi Sudirman.
SUMBER GAMBAR: ANTARA FOTO
(Disadur dari Laman BBC Indonesia)